Senin, 06 Januari 2014

Praktikum Mikrobiologi Terapan (Uji Mikroba Bahan Pangan)

ABSTRAK
Nadiana Rafika Putri. 2013. Uji Mikroba Bahan Pangan. Laporan Praktikum Mikrobiologi Terapan. Program Studi Pendidikan Biologi, Program Sarjana (S1). Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Palembang. Dosen Pengasuh Susi Dewiyeti, S.Si., M.Si.
Kata Kunci : Pempek, Media agar NA
Tujuan praktikum: (1) Untuk mengetahui kualitas dan hieginitas bahan pangan; (2) Untuk mengetahui ada atau tidak mikroba pada bahan pangan. (2) Uji coba praktikum dilaksanakan di Laboratorium Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Palembang Tanggal 14 desember pukul 09.00 WIB. Parameter yang diamati dalam praktikum ini adalah jenis, jumlah, warna, bentuk, elevansi, permukaan, diameter, dan tepian koloni (4) Hasil Praktikum; (1) Berdasarkan hasil uji coba dan pengamatan yang telah dilakukan ternyata ditemukan pada pempek terdapat 3 jenis bakteri berupa A1 dan B1 dan C1; (2) Pada jenis A1 berjumlah 42 koloni, berbentuk konsentris dengan tepian berambut, elevasi cembung dan berwarna putih; (3) Pada jenis bakteri B1 berjumlah 64 koloni, bentuknya tidak beraturan dan menyebar dengan tepian berambut, elevasi timbul dan berwarna kuning (4) Pada jenis bakteri C1 berjumlah 378 koloni, bentuknya bundar dengan tepian licin, elevasi datar dan berwarna putih.


     A.    PRAKTIKUM KE   : 5
    B.     JUDUL                      : Uji Mikroba Bahan Pangan
    C.    TUJUAN                   : Adapun tujuan dilaksanakannya praktikum ini adalah :
                                             1.      Untuk mengetahui kualitas dan hieginitas bahan pangan
                                             2.      Untuk mengetahui ada atau tidak mikroba pada bahan pangan
    D.    DASAR TEORI        :
Mikrobiologi Pangan
Mikrobilogi pangan adalah ilmu yang mempelajari pengaruh proses pengolahan terhadap  sel mikroorganisme, termasuk mekanisme ketahanan mikroorganisme terhadap proses pengolahan. Disamping itu, ilmu mikrobiologi pangan merupakan ilmu yang juga mempelajari perubahan-perubahan yang merugikan seperti kebusukan dan keracunan makanan, maupun perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti dalam fermentasi makanan. Proses pengolahan dan pengawetan makanan tidak sepenuhnya dapat mencegah semua perubahan-perubahan yang merugikan. Contonya, pada makanan-makanan  yang telah diawetkan dengan pembekuan atau pengeringan, enzim-enzim yang terdapat di dalam bahan pangan masih mungkin aktif dan menyebabkan perubahan warna, tekstur maupun citarasa dari suatu produk pangan. Hal ini menunjukkan sebelum produk pangan mengalami proses pembekuan atau pengerimngan sebaiknya dilakukan  proses pendahuluan dengan pemanasan, seperti blansir, yang berguna untuk menginaktifkan enzim-enzim yang terdapat di dalam bahan pangan mentah (Srimurtiar, 2012).
Ketahanan mikroorganisme maupun enzim-enzim yang terdapat di dalam sel mikroorganisme berbeda terhadap berbagai proses pengawetan dan pengolahan. Contohnya, penyimpanan makanan pada suhu rendah pada umumnya dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, tetapi suhu penyimpanan tersebut bahkan dapat merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang tergolong psikrofilik yang dapat menyebabkan kebusukan makanan. begitu juga dengan penambahan garam pada umumnya dapat menghambat kebanyakan mikroorganisme, tetapi dapat merangsang pertumbuhan bakteri halofiilik yang sering mengakibatkan perubahan warna (Srimurtiar, 2012).
Tidak saja ketahanan mikroorganisme dalam bahan pangan yang berbeda, karakteristik dalam masing-masing produk pangan adalah berbeda, dimana sifat tersebut akan mempengaruhi komposisi dari bahan pangan, cara pengolahan, dan kondisi penyimpananannya. Hal ini menunjukkan bahwa sifat mikrobiologi pada setiap produk berbeda dan sangat spesifik (Srimurtiar, 2012).
A.           Faktor Penyebab Pertumbuhan Mikroba Dalam Bahan Pangan
1.        Faktor Intrinsik (Sifat Bahan Pangan)
faktor intrinsik atau faktor dalam  yang dapat mempengaruhi populasi mikroorgannisme didalam makanan meliputi sifat-sifat kimia atau komposisi, sifat fisik dan struktur makanan. Faktor ini meliputi nilai aktivitas aira(Aw), komposisi nutrien, pH, potensial redoks, adanya bahan pengawet alamiah atau tambahan dan sebagainya (Srimurtiar, 2012).
a.    Aktivitas Air (aw= water activity)
Nilai aktivitas air untuk beberapa bahan makanan dan jenis  mikrooganisme khusus yang terdapat didalamnya kan berbeda untuk setiap jenis bahan makanan. Bahan makanan dengan kadar air tinggi ( nilai aw: 0,95 – 0,99) umumnya dapat ditumbuhi oleh semua jenis mikroorganisme dan biasanya kerusakan akan lebih banyak karena bakteri dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan kapang dan khamir (Srimurtiar, 2012).
b.    Nilai pH
Umumnya nilai pH bahan makanan berkisar antara 3,0 sampai 8,0. Kebanyakan mikroorganisme tumbuh pada pH sekitar 5,0 sampai 8,0 dan hanya jenis-jenis tertentu saja mikroorganisme yang ditemukan pada bahan makanan dengan pH yang lebih rendah (Srimurtiar, 2012).
c.    Potensial Redoks
Potensial redoks dari suatu sistem biologis adalah suatu sistem indeks dari tingkat oksidasinya. Bahan makanan dengan potensial redoks yang tinggi akan membantu pertumbuhan dari jenis-jenis mikroorganisme yang bersifat aerobik seperti Pseudomonas (Srimurtiar, 2012).
d.   Zat-zat Gizi
Komposisi bahan makanan dapat menentukan jenis mikroorganisme yang dominan didalamnya, karena hal ini akan menentukan jenis zat gizi yang penting tersedia untuk perkembangan mikroorganisme. Bahan makanan dengan gizi yang cukup akan membantu pertumbuhan mikrooragnisme seperti, Lactobacillus yang membutuhkan banyak zat gizi (Srimurtiar, 2012).
e.    Bahan Anti Mikrobial Alamiah
Bahan anti mikroba dapat diperoleh secara alamiah pada bahan-bahan makanan seperti minyak essensial dan tanin pada bahan makanan asal tumbuh-tumbuhan dan lizozyme serta avidin pada bahan makanan dari hewani seperti telur (Srimurtiar, 2012).
f.     Struktur Biologis
Strukutr biologis seperti lapisan kulit telur, kutikula dari bagian tanaman berguna untuk mencegah masuknya mikroorganisme kedalam bahan makanan (Srimurtiar, 2012).
2.         Faktor Pengolahan
Faktor pengolahan ini akan mempengaruhi jumlah mikroorganisme yang dominan dalam bahan makanan yang telah diolah atau diawetkan. Proses pengolahan seperti pemanasan atau irradiasi dapat membunuh sebagian atau seluruh mikroorganisme, terutama  mikroorganisme yang tidak tahan terhadap panas dan irradiasi.
Pengeringan dan pembekuan bahan makanan dapat mengakibatkan kerusakan pada mikroorganisme yang terdapat didalamnya. Tetapi beberapa jenis mikroorganisme yang tahan terhadap perlakuan tersebut akan tetap dapat hidup dan dapat menyebabkan kerusakan bila bahan makanan tersebut dicairkan (Srimurtiar, 2012).
3.         Faktor  Ekstrinsik (Lingkungan)
Bahan pangan segar atau makanan olahan yang tidak langsung dikonsumsi memerlukan tahap penyimpanan atau transpor/distribusi. Faktor-faktor yang mempengaruhui penyimpanan dan transpor seperti suhu, kelembaban dan susunan gas, merupakan faktor lingkungan (ekstrinsik) yang mempengaruhi populasi jasad renik yang terdapat pada makanan (Srimurtiar, 2012).
4.         Faktor Implisit
Berbagai mikroba yang terdapat pada bahan makanan kadang-kadang mengakibatkan dua atau lebih jenis mikro organisme hidup bersama saling menguntungkan (sinergisme) atau sebaliknya yang satu merugikan  pertumbuhan jenis mikrorganisme yang lain (antagonisme) (Srimurtiar, 2012).
5.         Faktor Makanan
a.       Makanan yang mudah rusak, yaitu  yang  mempunyai  aktivitas  air (aw),  dan  pH yang relatif  tinggi  (pH>5,3),  misalnya :  daging , daging ayam, ikan ,susu dan sebagainya (Srimurtiar, 2012).
b.      Makanan yang agak awet, yaitu makanan yang mempunyai pH pertengahan (antara 4,5-6,3) atau telah mengalami proses pengawetan  sehingga kadar airnya menjadi agak rendah, misalnya: jam, jeli, susu kental manis, acar, sosis terfermentasi  dan sebagainya (Srimurtiar, 2012).
c.       Bahan  makanan  yang  awet  (tahan lama disimpan) yaitu makanan yang telah diawetkan dengan pengeringan sehingga kadar airnya (aw) rendah, misalnya  dendeng,  abon,  ikan asin     dan sebagainya (Srimurtiar, 2012).

B.            Pengaruh Proses Pengolahan terhadap Mikroorganisme
1.        Pengaruh Pemanasan Terhadap Mikroorganisme
Untuk mengendalikan pertumbuhan dan kegiatan mikroba dapat dilakukan dengan menggunakan perlakuan suhu tinggi. Pada perlakuan suhu diatas suhu maksimum pertumbuhan mikroba akan bersifat mematikan dan semakin tinggi suhunya akan semakin tinggi laju kematiannya (lia, 2012).
2.        Pengaruh Pembekuan Terhadap Mikroorganisme
Mikroorganisme dapat diklasifikasikan atas dasar suhu optimum yang berguna untuk pertumbuhannya. Umumnya mikroorganisme tidak dapat tumbuh pada suhu dibawah 320F, tetapi ada beberapa jenis khamir yang  masih bisa tumbuh dalam substrat tidak beku pada suhu dibawah 150F. Pendinginan yang lambat dapat merusak populasi mikroba dan bentuk mikrobia yang sangat peka adalah sel-sel vegetatif, sedangkan spora biasanya tidak rusak oleh pembekuan (lia, 2012).
3.        Pengaruh Pengeringan Terhadap Mikroorganisme
Proses pengeringan dalam pengolahan bahan makanan merupakan proses pembatasan air yang digunakan untuk pertumbuhan  oleh mikroorganisme. Hal ini akan menentukan jumlah dan jenis dari mikroorganisme untuk tumbuh dalam bahan makanan tersebut (lia, 2012).
4.        Pengaruh Pengolahan dengan Garam, Asam, dan Bahan Kimia Pengawet terhadap Mikroorganisme
a.         Pengolahan dengan Garam dan Asam
Garam akan sangat berpengaruh bila dimasukan kedalam bahan makanan karena garam akan dapat merobah rasa dari makanan dan juga dapat  menghambat pertumbuhan mikroorganisme pencemar pada bahan makanann terutama mikroorganisme proteolitik dan pembentuk spora walaupu dengan kadar yang sangat rendah (sampai 6%) (lia, 2012).
Pengolahan bahan makanan dengan pemberian garam/ NaCl konsentrasi tinggi dapat mencegah kerusakan dari bahan tersebut. Mikroorganisme psikrofilik dapat dicegah pertumbuhannya dengan pemberian NaCl pada konsetrasi 2-5 % dan dikombinasikan dengan suhu rendah (lia, 2012).
b.         Pengolahan dengan Gula
Penggunaan  gula dalam pengolahan bahan makanan akan mempengaruhi mikroorganisme yang terdapat dalam bahan makanan tersebut, terutama bila dalam konsentrasi yang tinggi(minimal 40% padatan terlarut).Hal ini akan mengakibatkan air yang ada dalam bahan makanan tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme sehingga kadar airnya menjadi rendah dan keadaan inilah yang menyebabkan mikroorganisme tidak mampu untuk melakukan aktifitas hidupnya (lia, 2012).
c.          Pengolahan dengan Bahan Pengawet Kimia
Penggunaan bahan kimia pengawet dalam bahan makanan dapat menghambat atau menghentikan aktivitas mikroorganisme baik bakteri, kapang dan khamir. Biasanya bahan kimia pengawet yang digunakan bersifat bakteriostatik karena hanya dipakai dalam jumlah kesil sehingga tidak membahayakan bagi konsumennya (lia, 2012).
d.        Pengaruh Radiasi dalam Pengawetan Terhadap Mikroorganisme
Penggunaan radiasi dalam pengolahan bahan makanan bisa mempengaruhi ketahahan dari mikroorganisme. Radiasi yang digunakan ada dua macam yaitu: radiasi panas yang merupakan radiasi yang menggunakan sinar dengan gelombang yang panjang  dan radiasi ionisasi yang merupakan radiasi yang menggunakan sinar gelombang yang pendek (lia, 2012).
C.            Produk Pertanian (Sayur-sayuran)
Beberapa indicator mikroorganisme pembusuk pada bahan pangan adalah bakteri yang tergolong ke dalam bakteri koliform, bakteri ini hampir ada pada setiap bahan pangan yang telah mengalami  tahap  pengolahan. Splittstoesser dan Wettergreen (1981) melakukan pengamatan terhadap beku, melaporkan adanya Enterobacter dan Klebsiella pada sayur-sayuran sejak masih di kebun yang merupakan mikroflora normal. Sehingga, mikroorganisme ini tidak dapat dijadikan sebagai indicator sanitasi. Sedangkan terkontaminasinya sayuran oleh koliform fekal seperti Escheria coli yang sebenarnya jarang ditemukan pada sayuran dapat menjadikan bakteri ini sebagai mikroorganisme indicator sanitasi pada sayuran (Widhialestari, 2012).
Sayuran segar lebih banyak terkontaminsasi E.coli dibandingkan dengan sayuran beku. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) Sayuran jarang terkontaminasi oleh kotoran manusia maupun hewan, kecuali jika setelah pemanenan sayuran dicuci dengan air yang terkontaminasi kotoran. 2) Sayuran bukan termasuk ke dalam habitat normal E.coli. 3)  Kemingkinan terjadi kontaminasi kotoran maupun koliform fekal pada sayuran, tetapi E.coli merupakan bakteri yang sensitive terhadap proses blansir dan pembekuan sehingga tidak akan terdeteksi pada produk sayuran beku (Widhialestari, 2012).
Untuk sayuran kaleng yang merupakan sayuran yang diproses dengan cara sterilisasi komersial di dalam kaleng sehingga diharapkan sayuran tersebut sudah terbebas dari mikroorganisme pathogen dan pembusuk yang dapat tumbuh selama penyimpanan pada suhu simpan yang normal.  Pengujian untuk kualitas keamanan makanan kaleng yang terutama adalah Clostridium botulinum. Bakteri ini tergolong bakteri anaerobic yang membentuk spora dan bersifat mesofilik, dan juga merupakan bakteri pembentuk neurotoksin yang dapat mengakibatkan keracunan yang bersifat fatal. Untuk pengujian terhadap mikroorganisme indicator sanitasi ini yang paling sering dilakukan terhadap makanan kaleng (Widhialestari, 2012).
Cemaran akan semakin tinggi pada bagian tanaman yang ada di dalam tanah atau dekat dengan tanah. Mikroba tertentu seperti Liver fluke dan Fasciola hepaticaakan berpindah dari tanah ke selada air akibat penggunaan kotoran kambing atau domba yang tercemar sebagai pupuk. Air irigasi yang tercemar Shigella sp., Salmonella sp., E. coli, dan Vibrio cholerae dapat mencemari buah dan sayur. Selain itu, bakteri Bacillus sp., Clostridium sp., dan Listeria monocytogenes dapat mencemari buah dan sayur melalui tanah. Namun, penanganan  dan pemasakan yang baik dan benar dapat mematikan bakteri patogen tersebut, kecuali bakteri pembentuk spora (Widhialestari, 2012).
D.           Produk Hasil Peternakan
1.      Daging dan Unggas
Pengujian mikroorganisme indicator pada produk daging merah dan daging unggas biasanya dilakukan untuk beberapa tujuan seperti: 1) Menjamin keamanan produk pangan secara mikroorganisme biologis, 2) Mengetahui kondisi sanitasi selama pengolahan, dan 3)  Mengetahui daya awet dari produk pangan. Alasan dari pengguanaan indicator adalah untuk memantau mutu bahan mentah yang digunakan, kondisi pengolahan, dan mutu produk pada berbagai tahap pengolahan dan distribusi. Beberapa mikroorganisme indicator pada daging merah dan unggas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Mikroorganisme Indikator pada Produk Daging dan Unggas
Indikator
Mikroorganisme
Keamanan
Salmonella
Staphylococcus aureus
Clostridium perfringens
Clostridia mesofilik
Sanitasi
Total hitungan cawan aerobik pada suhu 35-37°C
Kokiform
Eschericia coli
Enterokoki
Daya tahan simpan
Total hitungan cawan aerobik pada suhu 4-10°C dan 20-30°C
Kapang dan khamir
Bakteri asam laktat (BAL)
Pseudomonad
Sumber: (Widhialestari, 2012).
2.      Makanan Kaleng
Makanan kaleng adalah produk olahan pangan yang sudah diawetkan agar tahan lama. Di dalam bukunya yang sangat terkenal, Thermobacteriology in Food Processing, Prof. Dr. C.R. Stumbo mengatakan bahwa makanan yang dikalengkan secara hermitis (penutupannya sangat rapat, sehingga tidak dapat ditembus oleh udara, air, mikrobia atau bahan asing lain) merupakan produk teknologi pengawetan yang sudah lama dikenal.        Makanan yang diawetkan dengan proses sterilisasi komersial, masih mengandung mikroba tetapi tidak dapat tumbuh pada kondisi penyimpanan yang normal (Widhialestari, 2012).
Proses sterilisasi ini merupakan upaya penghancuran mikroba patogen
beserta sporanya. Karena ada spora bakteri tertentu yang tahan terhadap suhu tinggi, sterilisasi harus dilakukan pada suhu 2500F (1210C) dengan menggunakan uap panas (autoklav) selama 15 menit. Produk selanjutnya ditutup secara hermitis sehingga tidak memberi kesempatan mikroba masuk kembali. Lamanya pemanasan dan tingginya suhu sangat tergantung pada derajat keasaman (pH) produk. Semakin rendah pH produk, misalnya sari buah, makin rendah suhu pemanasan yang digunakan. Penurunan mutu makanan kaleng bergantung pada sifat bahan, suhu sterilisasi dan kondisi udara dalam head space-nya. Semakin lama disimpan, semakin rendah daya simpannya (shelf life loss). Kemunduran daya simpan ini disebut kadaluwarsa. Bila menggunakan bahan baku yang baik, proses pemanasan sempurna dan bahan pengemas yang tidak berbahaya, maka daya simpan makanan kaleng dapat mencapai tiga tahun. Makanan kaleng biasanya tidak menuntut kondisi penyimpanan tertentu, dalam arti dapat disimpan pada suhu kamar dan di segala tempat. Namun, penyimpanan pada suhu rendah dan kering dapat memperpanjang masa simpan. Di sisi lain penyimpanan pada tempat yang lembab dan basah dapat melahirkan proses pengkaratan yang tidak diinginkan (
Widhialestari, 2012).
Kerusakan yang lain dapat terjadi karena kurang sempurnanya pengolahan. Misalnya, selama proses sterilisasi, terjadi kebocoran kecil pada sambungan kaleng yang menggelembung, tetapi kemudian tertutup kembali setelah pendinginan. Bila dalam proses pendinginannya digunakan air kurang bersih, dapat dipastikan mikroba pembusuk akan hadir dalam kaleng melalui lobang kecil tersebut. Pada gilirannya, bila kondisi penyimpanan mendukung maka bakteri tersebut akan tumbuh dan berkembang biak dan kelak memproduksi racun (Widhialestari, 2012).
Ada beberapa hal yang harus diwaspadai supaya kita terhindar dari toksin (racun) Clostridium botulinum  yang merupakan mikroorganisme indikoator keamanan  dalam makanan kaleng yang kerap kali hadir. Bakteri yang berbahaya ini umumnya menyukai tempat-tempat yang tidak ada udara (anaerobik) dan mampu melindungi diri dari suhu yang agak tinggi (termofilik) dengan jalan membentuk spora. Cara hidup yang demikian memungkinkan bakteri ini dapat hidup pada makanan kaleng, terutama pada jenis-jenis makanan yang bahan bakunya daging, ikan, sayur yang pHnya di atas 4,6 alias nilai keasaman relatif rendah. Bila kondisi pertumbuhannya sesuai, toksin botulinum yang sangat berbahaya itu bisa dihasilkan. Jika dikonsumsi maka racun tersebut akan menyerang susunan saraf dan dampaknya bisa melumpuhkan, menyulitkan pernapasan serta menyebabkan kematian (Widhialestari, 2012).
E.            Indikator Kebusukan
Masa simpan atau daya awet dari produk daging dan unggas dapat diketahui dari kandungan mikroorganisme pembusuk di dalamnya. Kebusukan yang umum terjadi dipengaruhi oleh jenis produk, komposisi produk, proses termal yang diterapkan terhadap produk, kontaminasi selama pengolahan dan pengepakan, cara pengepakan, dan suhu, serta waktu penyimpanan (Widhialestari, 2012).
Mikroorganisme yang menjadi indicator kebusukan pada produk pangan daging merah dan unggas ini bervariasi tergantung dari jenis produknya. Untuk daging segar yang belum diolah, dimana kebusukan biasanya disebabkan oleh bakteri gram negative berbentuk batang seperti  Pseudomonad, biasanya ditetapkan pada suhu 20°C hitungan cawan selama tiga hari menggunakan Plate Count Agar (PCA). Sedangkan produk daging yang di kemas di dalam plastic yang tidak tembus oksigen, misalnya pada sosis yang dikemas/dibungkus secara vakum di dalam plastic, kebusukan disebabkan oleh bakteri asam laktat. Dalam keadaan ini, inkubasi masih dapat dilakukan pada suhu 20°C selama tiga hari, PCA dapat diganti dengan agar APT untuk memperbesar ukuran koloni. Jika digunakan medium PCA, bakteri asam laktat akan membentuk koloni berukuran kecil (Widhialestari, 2012).
Jumlah bakteri asam laktat di dalam produk daging olah yang di kemas secara vakum mempengaruhi kecepatan pembusukan suatu produk pangan yang ditandai dengan terjadinya perubahan citarasa menjadi asam dan perubahan warna cairan daging yang keluar menjadi keputih-putihan. Jumlah hitungan cawan aerobic pada produk-produk pangan yang baru diolah menunjukkan jumlah bakteri yang tahan terhadap proses pengolahan dan tingkat kontaminasi peralatan dan sumber lainnya. Namun daya simpan dari produk daging yang dikemas tidak dapat diketahui dari jumlah hitungan cawan aerobiknya, karena sebagian besar bakteri yang terhitung dalam pengujian total koloni bakteri aerobic tidak dapat utmbuh selama penyimpanan dengan kondisi vakum tersebut (Widhialestari, 2012).


F.      Proses Pembuatan Pempek
1.         Bahan-bahan
1)   Daging ikan giling halus; yg paling baik adalah ikan Gabus atau Tenggiri, jika tidak ada, dapat diganti dengan ikan apa saja.
2)   Tepung sagu atau tepung kanji (tapioka)
3)   Air
4)   garam halus secukupnya
5)   penyedap secukupnya.
2.         Alat yang digunakan
1)   Penggiling ikan
2)   Pisau
3)   Baskom
4)   Spatula
5)   Kuali
6)   Panci
7)   Kompor
8)   Talenan
9)   Sendok
3.         Cara Mengolah Ikan
1)   Ikan yang akan di olah, disiangi dan dibersihkan terlebih dahulu.
2)   Lepaskan kulit ikan dari dagingnya.
3)   Buang seluruh tulangnya.
4)   Potong kecil, siap untuk dipirik/digiling.
5)      Simpan hasil gilinag di freezer, menunggu waktu penggunaan.
Gambar 1. Proses penyiangan ikan
Sumber: Anonim. 2012

Gambar 2. Penggilingan Ikan
Sumber: Anonim 2012

4.      Cara membuat adonan dasar
1.        Keluarkan daging ikan giling dari freezer, cairkan.
2.        Masukkan air es, vetsin, dan garam. Aduk sampai lengket.
3.        Tambahkan tepung sagu atau kanji sedikit demi sedikit sambil diuleni/diuli hingga tidak menempel lagi ditangan.
4.        Uleni/Uli adonan sampai rata

     5.      Ambil sedikit adonan dasar dan dibentuk sesuai dengan jenis pempek.
    a.    Rebus pempek yang sudah di dibentuk
    b.   Rebus pempek sampai pempek mengapung diatas air, pertanda pempek sudah benar-     benar matang
    c.    Setelah pempek matang, siap digoreng.
   6.      Pembungkusan Bahan Pangan
 Pembungkusan ialah seni dan teknologi untuk melindungi dan memelihara kualitas     sesuatu barangan semasa dihantar, disimpan atau dipamerkan.
  a.       FungsiPembungkusan
1)   Melindungi barangan dari segi fizikal
2)   Menjamin kualitis barangan
3)   Memudahkan kerja penghantaran, penyimpanan dan pameranbarangan
4)   Menyampaikan maklumat barangan kepada pengguna
5)   Mengiklankanmaklumatdanmempromosikanbarangan
 b.      Jenis pembungkusan
1)   Barangan lembut atau serbuk
2)   Barangan keras
3)   Barangan cair
4)   Barang bantuk krim atau pelekat
  c.     Kriteria penting dalam pembungkusan
1)    Warna
2)    Ilustrasi
3)    Mukataip (tipografi)
4)    Penerangan
5)    Logo syarikat, nama dan alamat
6)    Rekaletak
Menurut Landa (1996), sebuah bungkus itu apabila diletakkan di atas ruang pameran untuk jualan secara tidak langsung bersaing dengan jenama atau pembungkusan yang lain diseblahnya.hanya perlulah menarik, dapat dikenali atau dilihat dengan jelas, bersesuaian dengan kehendak pelanggan dan di pasaran.

             E.     PELAKSANAAN PRAKTIKUM
1.      Waktu dan Tempat
Waktu       : Sabtu, 14 Desember 2013, Pukul 09.00 WIB
Tempat      : Laboratorium FKIP Universitas Muhammadiyah Palembang
2.      Alat dan Bahan
Alat:
a.       Cawan petri
b.      Gelas kimia
c.       Bunsen
d.      Sprayer
e.       Kapas lidi steril
Bahan :
a.       Media NA
b.      Alkohol 70%
c.       Bahan pangan berupa pempek goreng
3.      Cara Kerja
a.       Untuk bahan pangan padat
1.   Jepit dengan pinset bahan pangan lalu usapkan (metode swb) bahan pangan dengan kapas lidi steril secara aseptis.
2.   Goreskan kapas lidi tadi diatas media NA secara aseptis
3.   Bakar pinggiran mulut cawan petri dengan bunsen
4.   Letakkan cawan petri dengan posisi terbalik dan dibungkus dengan kertas
5.   Inkubasi selama 24 jam amati pertumbuhan mikroba pada cawan petri (jumlah koloni, bentuk koloni, warna koloni, elevasi koloni, permukaan koloni, tepi koloni, diameter).
b.      Untuk bahan pangan cair
1.   Masukkan kapas lidi steril kedalam bahan pangan cair secara aseptis.
2.   Goreskan kapas lidi tadi diatas media NA secara aseptis.
3.   Bakar pinggiran mulut cawan petri dengan bunsen.
4.   Letakkan cawan petri dengan posisi terbalik dan dibungkus dengan kertas.
5.   Inkubasi selama 24 jam di dalam inkubator pada suhu 37˚C
6.   Setelah inkubasi 24 jam amati pertumbuhan mikroba pada cawan petri (jumlah koloni, bentuk koloni, warna koloni, elevasi koloni, permukaan koloni, tepi koloni, diameter).

  1. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Hasil Praktikum
Tabel 1. Mikroba  yang  terdapat pada pempek
No
Jenis
Jumlah
Bentuk
Tepian
Elevasi
Warna
A
A1
42
Konsentris
Berambut
Cembung
Putih
B
B1
64
Tidak beraturan dan menyebar
Berambut
Timbul
kuning
C
C1
378
Bundar
Licin
Datar
Putih

2.      Pembahasan
a.       Berdasarkan hasil uji coba dan pengamatan yang telah dilakukan ternyata ditemukan pada pempek terdapat 3 jenis bakteri berupa A1 dan B1 dan C1.
b.      Pada jenis A1 berjumlah 42 koloni, berbentuk konsentris dengan tepian berambut, elevasi cembung dan berwarna putih.
c.       Pada jenis bakteri B1 berjumlah 64 koloni, bentuknya tidak beraturan dan menyebar dengan tepian berambut, elevasi timbul dan berwarna kuning.
d.      Pada jenis bakteri C1 berjumlah 378 koloni, bentuknya bundar dengan tepian licin, elevasi datar dan berwarna putih.
  1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uji coba dan pengamatan yang telah dilakukan ternyata ditemukan pada pempek terdapat 3 jenis bakteri berupa A1 dan B1 dan C1.Pada jenis A1 berjumlah 42 koloni, berbentuk konsentris dengan tepian berambut, elevasi cembung dan berwarna putih.Pada jenis bakteri B1 berjumlah 64 koloni, bentuknya tidak beraturan dan menyebar dengan tepian berambut, elevasi timbul dan berwarna kuning.Pada jenis bakteri C1 berjumlah 378 koloni, bentuknya bundar dengan tepian licin, elevasi datar dan berwarna putih.
  1. DAFTAR PUSTAKA
Lia, 2012. Uji Mikrobiologi Bahan Pangan. (Online), (http://liajegeg2.blogspot. com/, diakses tanggal 24 Desember 201).
Srimurtiat, 2011 Mikrobiologi Pangan. (Online), (http://srimutiar89.blogspot. com/2011/07/mikrobiologi-pangan.html, diakses tanggal 24 Desember 2013).
Widhialestari, 2012. Laporan Praktikum Mikrobiologi. (Online), (http://widhia lestari.blogspot.com/2012/09/laporan-praktikum-mikrobiologi.html, diakses tanggal 22 Desember 2013).                                                   
Anonim, 2012. Resep Pempek Palembang. (online) (http://tiraikasih.tripod.com/ Resep_Pempek_Palembang.html). Diakses tanggal 23 Desember 2013.
Caharlie, 2012. Pembungkusan Packaging. (online) (http://ermacaharlie. blogspot.com/ 2012/06/pembungkusan-packaging.html) Diakses tanggal 25 desember 2013
Rhesma, 2011. Cara Membuat Pempek. (online) (http://rhesma777new. wordpress.com/2011/06/24/cara-membuat-pempek/) diakses tanggal 23 Desember 2013

                           
   
                                                



Tidak ada komentar:

Posting Komentar